Senin, 05 Maret 2012

GURU, Sebuah Definisi

Secara terminologi, guru sebagaimana dijelaskan oleh WJS Poerwadarminta adalah “Orang yang mendidik”.[1] Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik.
Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik, seperti teacher yang diartikan dengan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar di rumah.[2]
Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz yang berarti teacher (guru) atau professor (gelar akademik = guru besar), muddaris yang berarti teacher (guru) atau instructor (pelatih) dan lecturer (dosen), muallim yang juga berarti teacher (guru) atau instructor (pelatih), serta trainer (pemandu) dan juga kata mu’adib yang berarti educator (pendidik).[3]
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, muallim dan muadih. Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurrabi. Kata muallim adalah isim dari allama, sedangkan kata muadib berasal dari adaba, yuadibu.
Kata “murabbi” sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Sedangkan untuk istilah “muallim”, pada umumnya dipakai dalam pembicaraan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah ”muadib”, menurut Al-Attas lebih luas dari istilah “muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.[4]
Kata-kata di atas secara kseluruhan mengacu kepada orang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain. Berdasarkan ruang gerak dan lingkungan di mana ilmu atau ketrampilan itu diberikan, sering dibedakan pengistilahannya, untuk di sekolah disebut teacher,    di perguruan tinggi disebut lecturer atau professor, di rumah-rumah pribadi disebut tutor atau privat teacher, sedang di tempat pelatihan disebut instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut educator.
Secara etimologi, istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi adalah “Orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran         di sekolah/kelas.[5] Secara khusus ia menegaskan bahwa guru berarti “Orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.[6] Guru dalam pengertian tersebut, menurutnya bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan dan pengajaran kepada orang lain. Dan kata guru secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja.
Guru menurut petunjuk Al-Qur’an secara garis besar ada empat, yaitu :
  1. Allah SWT, sebagai guru Allah SWT menginginkan umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan di akhirat. Dengan seluruh sifat yang melekat padaNya, Allah SWT sebagai seorang guru Ia memiliki pengatahuan yang luas (Al-‘Alim), Ia juga sebagai Pencipta, memiliki sifat Pemurah, tidak kikir dengan ilmuNya, Maha Tinggi, Penentu, Pembimbing, Penumbuh prakarsa, mengetahui kesungguhan manusia yang beribadah kepadaNya, mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat, menguasai cara-cara atau metode dalam membina umatNya antara lain melalui penegasan, perintah, pemberitahuan, kisah, sumpah, keteladanan, pembantahan, mengemukakan teka-teki, mengajukan pertanyaan, memperingatkan, mengutuk dan meminta perhatian. (QS Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudatsir, Al-Lahab, At-Takwir dan Al-A’la).
  2. Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya, para nabi menyampaikan ajaran Allah kepada manusia. Ajaran yang diterima umat manusia dapat memberi petunjuk mengenai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai guru, nabi memulai pendidikan kepada anggota keluarganya yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Sejarah mencatat bahwa nabi Muhammad SAW sebagai seorang guru kepada umatnya, tugasnya dapat dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan, sehingga ajaran Islam melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku dan peri kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari metode yang digunakan nabi, yaitu dengan cara menyayangi, keteladanan yang baik, mengatasi penderitaan dan masalah yang dihadapi umatnya, memberi ibarat, contoh dan lain sebagainya yang amat menarik perhatian masyarakat.
  3. Kedua orang tua, Al-Qur’an menyebutkan bahwa orang tua sebagai guru harus memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio, dapat bersyukur kepada Allah, suka menasehati anaknya agar tidak mensekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan, tidak sombong dan takabur. Seperti kisah Luqman Al-Hakim yang diceritakan dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12  – 19.
  4. Orang lain, informasi yang amat jelas mengenai hal ini antara lain terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82 tentang proses belajar mengajar antara nabi Khaidir AS kepada Nabi Musa AS. Bahwa dalam proses belajar hendaknya murid berlaku sabar dan agar tidak bertanya sebelum dijelaskan dan lain-lain. Orang yang keempat inilah yang selanjutnya disebut guru.[7]
 Tugas-tugas Guru
Secara khusus guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian ini bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi ia adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Karena tugasnya yang mulia, seorang menempati posisi yang mulia dan mendapat penghormatan yang tinggi. Sayyidina Ali ra menyatakan dalam salah satu perkataannya:“Barang siapa mengajariku satu huruf maka aku bersedia menjadi hambanya”[8] (Ali bin Abi Thalib RA).
Guru sebagai seorang pendidik memiliki tugas yang amat mulia, baik di sisi manusia maupun dalam pandangan Allah dan Rasulnya. Allah menjanjikan pahala surga bagi mereka yang mengamalkan ilmunya dan mengancamnya dengan api neraka terhadap mereka yang menyembunyikan ilmunya. Tugas guru sebagaimana dijelaskan oleh S. Nasution terbagi menjadi tiga bagian :
  1. Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan
  2. Guru sebagai model dan contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran.
  3. Menjadi model sebagai pribadi, seperti berdisiplin, cemat berpikir, mencintai pelajarannya, berperilaku mulia.[9]
Karena tugasnya yang mulia seorang guru menempati posisi yang mulia dan mendapat penghormatan yang tinggi, jasanya amat banyak dan yang terpenting adalah:
  1. Guru sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada murid
  2. Guru sebagai pembina akhlak yang mulia
  3. Guru sebagai pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang baik[10]
“Keutamaan seorang guru disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang guru hampir sama dengan tugas seorang Rasul”.[11]
Dari pandangan itu dipahami bahwa tugas pendidik sebagai “Warasat al-anbiya” yang pada hakikatnya mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.
Untuk melaksanakan tugas sebagai warasat al-anbiya pendidik hendaklah bertolak pada “amar makruf nahyi anil munkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi, Islam dan ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, sosial dan moral (nilai-nilai agama dan moral)”.[12]
Menurut Al-Hazali, tugas pendidik yang utama adalah “Menyempurna-kan, membersihkan, menyediakan hati manusia untuk ber-taqarub kepada Allah.[13] Sejalan dengan ini Abd Al-Rahman Al-Nahlawi menyebutkan tugas pendidik. “Pertama, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran yakni menginternalisasi-kan dan mentransformaskan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.[14]
Berangkat dari uraian di atas maka tanggung jawab pendidik sebagaimana disebutkan oleh Abd Al-Rahman Al-Nahlawi adalah mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariatnya, mendidik diri supaya beramal saleh dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral seorang pendidik terhadap anak didik, tetapi lebih jauh dari itu pendidikan akan mempertanggung jawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah.
Berangkat dari konsep operasional, pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai Islam dan ilmu pengetahuan dalam rangka mengembangkan fitrah dan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik guna mencapai keseimbangan dan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, maka pendidik mempunyai peran yang sangat pendidikan dalam pendidikan Islam.
Abdullah Nashih ‘Uluwan berpendapat bahwa tugas dan peran pendidik atau guru adalah “Melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia”.[15]
Sebagai pemegang amanat orang tua dan sebagai salah satu pelaksana pendidikan Islam “Guru tidak hanya bertugas memberikan pendidikan ilmiah semata, tugas guru hendaknya merupakan kelanjutan dan sinkron dengan tugas orang tua yang juga merupakan pendidik muslim pada umumnya, yaitu memberikan pendidikan yang berwawasan manusia seutuhnya”.[16] Hal itu dapat diwujudkan dengan cara menjadikan manusia itu sebagai manusia, mempertahankan adat kemanusiaannya, serta memelihara fitrahnya yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrahman Al-Nahlawi, guru hendaknya mencontoh peranan yang telah dilakukan para nabi dan pengikutnya tugas mereka pertama-tama adalah mengkaji dan mengajar ilmu Ilahi sesuai dengan Firman Allah surat Al-Imran ayat 79 yang menyatakan bahwa “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan padanya Al-Kitab, Al-Hikmah dan kenabian lalu berkata kepada manusia: hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah, akan tetapi (hendaklah ia berkata), hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya”.[17]
Kata “rabani” pada ayat di atas menunjukan pengertian bahwa pada diri setiap orang kedalaman atau kesempurnaan ilmu atau taqwa. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan fungsinya sebagai pendidik. Ia tidak akan dapat memberikan pendidikan yang baik, bila ia sendiri tidak memperhatikan dirinya sendiri.
Di samping itu Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasulullah adalah mengajarkan Al-kitab dan Al-Hikmah kepada manusia serta mensucikan mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka. Sebagaimana Allah SWT, menyebutkannya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 129 : “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab an Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana’.[18]
Ayat ini menerangkan bahwa sebagai seorang pendidik yang agung, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi lebih dari itu, dimana ia juga mengemban tugas untuk memelihara kesucian manusia. Untuk itu guru sebagai pendidik juga harus memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kesucian atau fitrah anak didiknya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Berdasarkan Firman Allah SWT di atas, Al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok (peran utama) guru dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
  1. Tugas pensucian. Guru hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhkannya dari keburukan dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya.
  2. Tugas pengajaran. Guru hendaknya menyampaikan beberapa pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.[19]
Peran dan fungsi yang cukup berat untuk diemban ini tentu saja membutuhkan sosok seorang guru atau pendidikan yang utuh dan tahu dengan kewajiban dan tanggung jawab sebagai pendidik. Pendidik itu harus mengenal Allah dalam arti yang luas dan Rasul serta memahami risalah yang dibawanya.
Di samping memiliki kompetisi bidang pengetahuan yang menjadi disiplin ilmu dan profesionalitasnya seorang guru harus memiliki sifat-sifat pendidik yang baik, terutama oleh guru agama.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi menyebutkan tujuh sifat yang harus dimiliki guru:
  1. Seorang guru harus memiliki sifat zuhud yaitu tidak mengutamakan untuk mendapat materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridlaan Allah semata-mata.
  2. Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk.
  3. Seorang guru harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya
  4. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya.
  5. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak, sebelum ia menjadi seorang guru.
  6. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat dan watak murid-muridnya.
  7. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang diajarkan.[20]
Sifat tersebut di atas garis besarnya dibagi menjadi sifat yang berkaitan dengan kepribadian dan sifat yang berkaitan dengan keahlian akademik.
Sifat-sifat tersebut bisa ditambah dengan sifat-sifat sekunder misalnya guru tersebut sebaiknya memiliki sifat suka pada seni atau berjiwa humor. Sifat lainnya adalah seorang guru harus dapat melakukan kerjasama dengan orang tua murid, terutama pada murid yang kurang mampu menerima pelajaran atau memiliki kelainan sifat dengan murid-murid lainnya, dan lain-lain.

[1] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1980),          Cet ke-12, h.250
[2] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1980), Cet ke-8, h.560-608
[3] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Bairut : Librarie du Liban, London : Mac. Donald dan Evans, Ltd., 1974), Cet ke-4, h.15
[4] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung : Mizan, 1984), h.5
[5] Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta : Haji Masagung, 1989, 1989), Cet ke-3, h.123
[6] Ibid
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001),         Cet ke-4, h.65-67
[8] Ali bin Abi Thalib RA, Kumpulan Kata Hikmah, (Jakarta : Pelajaran Mahfudhat Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, tt)
[9] S. Nasutuion, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta : Bina Aksara, 1988), Cet ke-4, h.16
[10] Abuddin Nata, op.cit, h.69-70
[11] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h.165
[12] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikian Pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Operasionalnya, (Bandung : Tigenda Karya, 1986), h.169
[13] Abdur Rahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Al-Islamiyah fil Baiti Wal Madrasah Wal Mujtama, Terj : Shihabuddin (Jakarta : Gema Insani, 1995), h.170
[14] Ibid
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h.95
[16] Ibid
[17] Depag RI, Al-Qur’an Terjemahnya, op.cit, h.126
[18] Ibid, h.43
[19] Abdur Rahman an-Nahlwai, loc.cit
[20] Abuddin Nata, op.cit, h.70-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...